Minggu, 22 Oktober 2017

ILMU PENGETAHUAN WUJUD DARI SEBUAH KEKUASAAN

MAKALAH
ILMU PENGETAHUAN WUJUD DARI SEBUAH KEKUASAAN








Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Politik yang dibimbing oleh Zulkarnain

Disusun Oleh

M.FAUZIN AL HABIB
(L1A017068)




PRODI HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2017


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh ...
         Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya Saya bisa menyelesaikan tugas Makalah Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik yang berjudul Ilmu penegetahuan Wujud Dari Sebuah Kekuasaan. Makalah ini diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Politik. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
        Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasisiwa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh ...




                                                                                               Mataram, 23 Oktober 2017
                                                                                                          Penyusun

                                                                                                     M.Fauzin Al Habib





DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN SAMPUL.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii
BAB I   PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A.    Latar Belakang  ........................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................................ 2
C.     Tujuan ......................................................................................................................... 2
BAB II  PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3
A.    Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Pemerintah............................................. 3
B.     Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Politik....................................................................... 3
C.     Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Teknologi............................................... 7
D.    Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Ekonomi................................................. 9

BAB III PENUTUP............................................................................................................... 10
A.    Kesimpulan ................................................................................................................. 10
B.     Saran ........................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 11




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Selama ini pengetahuan tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan kita warisi paling-paling dalam bentuk semboyan yang dianggap berasal dari filsafat ilmu Francis Bacon (1561-1626), yang berbunyi “Knowledge is power”, pengetahuan ialah kekuasaan. Pengetahuan menampakkan diri dalam kekuasaan. Atau lebih tepat, pengetahuan  mewujudkan diri dalam teknologi dan teknologi adalah sarana untuk mengendalikan, khususnya untuk mengendalikan alam. Adanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari manusia. Manusia adalah yang memiliki pengetahuan dan berilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan sistem yang dikembangkan manusia untuk mengetahui keadaannya dan lingkungannya, serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, atau menyesuaikan lingkungan dengan dirinya dalam rangka strategi hidupnya. Ilmu itu diolah ke dalam atau mejadi teknologi untuk diterapkan. Dengan demikian, tujuan teknologi menjadi jelas dan pengembangannya terarah dan bersasaran, yaitu untuk kesejahteraan, kemudahan, dan keuntungan bagi manusia (Jacob, 19998:1).
Ketika ilmu pengetahuan begitu mengakar dalam unsur kekuasaan, pengetahuan dan ilmuwannya menjadi semacam rezim. Segala sesuatu harus tunduk pada peraturan penguasa. Rezim yang terbentuk sering kali sulit menghindari ungkapan klasik dari Lord Acton, ”power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung merusak dan kekuasaan yang mutlak benar-benar merusak).seperti yang kita lihat dalam kehiduapan ini juga, orang -oranga tau pihak yang berkuasa dan mempunyai kekuasaan yang lebih mempunyai latar belakang pendidikan yang bagus atau dan mempunyai pengalanam dan ilmu pengetahuan yang luas dari pengalaman-pengalaman yang mereka punya. Karena kelebihan yang mereka punya mereka bisa menarik pengikut dan memobilisasi massa yang begitu banyak karena pengaruhnya tersebut.
Tapi penulis melihat dinamika yang ada lagi, sering ilmu penetahuan itu bila sudah menjerumus kedalam kekuasaan bisa menjadi hal yang membawa dampak yang sangat besar baik secara positi maupun negatif tergantung dari bagaimana mereka menggunakan ilmu penegtahuannya dalam memegang kekuasaan, contohnya presiden ketiga Republik ini adalam orang yang mempunyai ilmu pengetahuan di atas rata-rata bisa membawa indonesia memjadi negara yang diperhitungkan diduia setelah krisis ekonomi 1997 dalam amasa pemerintahannya yang begitu singkat. Bisa kita lihat ilmu pengetahuan itu melembaga dalam kekuasaan seperti tidak adanya kebebansan pendidikan tinggi untuk tanpa dicampuri oleh kekuasaan luar. Ada  juga seara peseorangan menyangkut kebebasan seseorang untuk belajar mengajar dan melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan kegiatan terswbut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri. Namun peran ilmuwan dan kaum intelektual sebagai pengendali dan agen perubahan ternyata juga dikuasai kepentingan kekuasaan. Mereka yang awalnya melontarkan berbagai gagasan kritis akhirnya juga ikut larut menikmati kekuasaan dan mengingkari idealismenya sendiri. Mereka menampilkan kesan sebagai pemecah masalah, namun dalam banyak hal lebih terlihat sebagai pembuat masalah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi kaum ilmuwan dan intelektual rentan dipengaruhi kepentingan penguasa, baik penguasa negara maupun penguasa modal (uang).
Di atas telah disinggung bahwa kehadiran berbagai produk kekuasaan dan  teknologi itu tidak lepas dari pengaruh ilmu penetahuan . Pengaruh IPTEK itu ada yang dijadikan pembenaran untuk menyalahgunakan kekuasaan. Untuk itu, kita perlu merenungkan kembali secara mendasar mengenai hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang baik bertanggung jawab atas perubahan zaman dan bermanfaat bagi semua orang, bukan segelintir orang atau kelompok tertentu saja. Ilmu pengetahuan adalah untuk kemanusiaan dan bukan hanya untuk kekuasaan dan keuntungan seikan maupun sekelompok orang saja. Kebenaran ilmiah itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, tetapi relatif. Benar pada saat ini belum tentu benar di masa depan.

B.  Rumusan Masalah
a.    Bagaimna Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Pemerintah?
b.    Bagaimana Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Politik?
c.    Bagaimana Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Teknologi?
d.    Bagaimana Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Ekonomi?

C.  Tujuan
a.       Mengetahui Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Pemerintah
b.      Mengetahui Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Politik
c.       Mengetahui Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Teknologi
d.      Mengetahui Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Ekonomi




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Peran Ilmu Pengetahuan Di Dalam Kekuasaan Pemerintah
Dalam lingkup kukuasaan pemerintah Ilmu Pengetahuan disini berperan dalam yang memerankannya yaitu manusia itu sendiri yang disebut sebagai cendekiawan. Dalam sistem pemerintahan yang kita anut beberapa kurun masa ini kita bisa melihat dari zaman Orde Lama peran ilmu pengetahuan atau para cendekiawan yang berkuasa telah dengan senagaja meninggalkan etika profesi dan etika kemanusiaannya melalui pelacuran ilmu pengetahuan untuk kepentingan jabatan dan keutungan material pribadi. Mereka tunduk dan menyerah kepada kekuasaan politik. Nilai-niai kebebasan berfikir intelektual, kebenaran dan keadilan terjuangkir balik demi demi untuk menjamin berlansungnya kekuasaan politik. Para politis yang loyal dan pasrah terhadap kehendak atasan lebih disukai dari intelektuil yang terdidik dan terlatih berfikir bebas. Bilaman masyarakat dan struktur politik yang berkuasa tidak memberi tempat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat yang demikian berada dalam keadaan statis. Ilmu penegtahuan sifatnya universal dan dinamis serta tidak terikat pada kotak-kotak ideologi yang sempit.
Di dalam pemerintahan orde baru peranan para cendikawan dalam pembangunan relatif lebih terhormat, sehingga memungkinkan terjadinya kerjasama yanga erat anatara teknokrat dan penguasa para cendikawan dapat memainkan peranannya lebih sesuai dengan peranan etika dan hati nuraninya, walau masih terdapat beberapa keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam pelaksanaannya.
Mereka telah berperan sebagai juru bicara hati nurani masyarakatnya. Penelitan ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga ilmu penegtahuan semakin tumbuh dan berkembang. Struktur politik dan kekuasaan telah memberi dukungan sepenuhnya bagi pengembangan mutu ilmu penegtahuan. Suasana keakraban yang demikian membuat masyarakata bersifat adaftif dan dinamis
Ditambah lagi pada masa roformasi sekarang runag yang dibarikan makain luas kepada para cendekiawan untuk memberi kontribusi bagi pembangun bangsa tidak lagi hanya sebagai alat kekuasaan negara untuk kepentingan sesaat tapi sudah memikirkan keoentingan untuk masa yang akana datang berkat para ilmuan dan cendekiawan yangberjasa dalam pembangunan khususnya sistem pemerintahan di indonesia ini, sehingga mempunya atau diberikan posisi yang istimewa dan dihormati sampai diberikan gelar sebagai tanda hormat terima kasih pemerintah terhadap kontribusinya tersebut. Dari kehoratan yang dipeeroleh itu adalah bentuk wujud dari kekuasaan dalam ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh tokoh presiden Indonesia yang ketiga B.J Habibie menggunakan ilmu pengetahun  yang dimiliki beliau  untuk membangun pabrik pesawan buatan asli bangsa indonesia sehingga bisa dengan waktu yang begitu singkat dan cepat memulihkan kembali perekomomian indonesia saat itu yang sangat kacau- balau dan indonesia diakui bangsa lain mampu membuat pesawat tercanggih di zamannya sehingga kekuasaan Hbibie saat itu semakin dipercaya dan kuat walau pemerintahan beliau tidak berlansung lama.

B.  Peran Ilmu pengetahuan Dalam Politik
Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pembahasan diatas tapi penyusun ingin mengerucutkan lebih detail lagi dalam hal ini dalam bidang politik. Disini perlu dijelaskan bahwa ada kaitannya antara cendikiawan dan kekuasaan yang pada akhirnya menentukan arah sebuah kebijakan pemerintah. Banyak dari para pemikir yang justru ragu akan ke kritisan dan kepedulian para intelektual atau cendikiawan ketika mereka menduduki suatu jabatan di pemerintah. Di situ kemungkinan besar kaum intelektual kehilangan spirit dan karakternya yang khusus, yaitu sebagai orang-orang yang bertanya dan kritis. Terlihat kecenderungan di mana peran para cendikiawan itu berubah menjadi pelaksana-pelaksana tertentu dari sebuah mesin politik yang besar . Di sana dia bisa berperan menjadi seorang teknokrat , birokrat atau professional .
Ada pula kemungkinan mereka melakukan kompromi politik terhadap suatau kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat ramai, sehingga ruang gerak untuk melakukan wacana intelektual menjadi sempit dan terbatas Padahal wacana semacam itu bisa mengikutsertakan keseluruhan masyarakat serta menjadi sarana bagi pendidikan politik mereka Kehadiran kaum cendikiawan dalam ranah politik kecil kemungkinannya dapat menggulirkan ide-ide perubahan. Sebaliknya, hal ini akan membuatnya tenggelam, sekedar menjadi kaki tangan kekuasaan politik alias budak-budak kekuasaan (servants of power). Itulah salah satu alasan dari Soedjatmoko mengatakan bahwa bagaimanapun para cendikiawan harus tetap berada di luar kekuasaan, agar mereka tidak terkooptasi kedalam ranah kekuasaan yang pada akhirnya menjauhkan merekan dari membela rakyat menjadi membela partai politik yang di ikutinya. Takbisa terhindarkan mereka akan melegitimasi kebijakan-kebijakan tersebut, meskipun kebijakan tersebut merugikan atau menguntungkan masyarakat umum.
Sebaliknya jika posisi mereka bebas atau diluar sistem atau pemerintah maka dengan posisi yang bebas itulah, seorang intelektual memiliki kekuatan (daya tawar) untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat pemerintah. Posisi seorang intelektuak adalah diatas menara yang paling tinggi yang tak boleh terjangkau oleh siapaun, kecuali dirinya sendiri. Artinya, bahwa siapapun tidak boleh mempengaruhi apalagi membeli pemikiran seorang intelektual dalam menyampaikan kebenaran.
Menjawab problematika gerakan kaum intelektual dalam ruang publik nasional antra lain:
1.      Dikotomi Pemberdayaan Vs Politik
Antara pemberdayaan dan politik tidak tepat dijadikan dua pilihan karena keduanya bukan hal yang dikotomis. Pemberdayaan dimensinya lebih ke arah “pendidikan”, sementara politik lebih pada soal sikap dan peran/tindakan seseorang terhadap kebijakan publik. Bahkan dalam ruang lingkup politik, pemberdayaan juga merupakan bagian integral karena politik yang berkualitas juga butuh proses dan mesti dijalankan melalui pemberdayaan. Pengertian politik tidak boleh direduksi hanya karena realita politik (seperti politik kepartaian dengan “deparpolisasinya”, politik kekuasaan dengan perilaku barbarnya).  
Pada konteks inilah sebenarnya kegiatan pemberdayaan dan kegiatan politik sama-sama menjadi bagian tanggungjawab kaum intelektual. Pada wilayah pemberdayaan, dimensi kegiatannya semacam kegiatan “ekstra sekolah” yang perlu dilakukan secara cepat, terarah dan mampu menghasilkan manusia-manusia yang terpuruk kemudian menemukan jalan kemandirian untuk berdaya. Dimensi pendididikan dengan model pembelajaran-aktif sangat kuat dalam konteks ini karena yang dilakukan adalah untuk menyelesaikan secara konkret problem yang dialami masyarakat. Terang urusan ini merupakan kegiatan yang baik dan sudah seyogyanya dilakukan oleh kelas menengah yang memiliki kapasitas intelektual untuk membagikan ilmu dan pengalamannya kepada masyarakat.
Pendek kata, pemberdayaan adalah sesuatu yang penting tetapi itu kemudian tidak ada urusannya dengan keengganan berpolitik, tidak perlu dipisahkan dari tanggungjawab berpolitik. Ilustrasi sederhana bisa mengambil contoh dari peran para dosen. Mereka bisa melakukan kegiatan “pemberdayaan” melalui kampusnya sebagai dosen, sementara urusan politik bisa dilakukan di luar (urusan) kampus melalui kapasitas individunya sebagai pengamat politik, atau melalui jalur organisasi melalui ormas, lembaga penelitian dan lain sebagainya.
Dulu di zaman pra-kemerdekaan bahkan ada contoh menarik dari para dokter yang menjadi aktivis politik. Mereka bekerja sebagai dokter, tetapi dalam lapangan sosial mereka menjadi aktivis pergerakan politik. Tetapi sekarang jarang kita temukan peran dokter yang menonjol dalam hal ini. Bahkan terdapat kesan, “dokter yang baik” adalah mereka yang hanya bekerja sebagai “perangkat” industri di rumah sakit, syukur-syukur supaya lebih kaya sibuk buka praktik medis di rumah, bekerja sebagai konsultan dll.
Saat ini peran dokter dalam lapangan politik sangat minim.Paling jauh hanya mengambil urusan sosial yang sifatnya pemberdayaan kesehatan fisik, atau sekadar jadi partisipan acara bakti sosial. Padahal kita tahu, dunia kedokteran beserta cakupannya yang luas memiliki kaitan erat dengan kebijakan politik negara. Artinya, dokter dengan kapasitas intelektualnya bisa memainkan peranan untuk kebaikan melalui partisipasi politik, dan bukan menjadi objek politik kekuasaan.Politik kaum profesional tidak perlu harus melalui partai-politik karena bisa dilakukan dengan kerja intelektual seperti organisasi profesi yang sadar berpolitik, sikap politik melalui media massa atau jenis gerakan lain.
Memang, cara pandang anti-politik telah merasuk luas di kalangan kelas menengah perkotaan di Indonesia. Karena alasan politik itu kotor atau politik tidak berguna (maksudnya tidak paham kegunaannya), kemudian lari memilih eskapis ke urusan minimalis non politis. Sebenarnya, jika kita mengacu pada pengertian tanggungjawab intelektual terhadap kemanusiaan, seorang dosen sekalipun Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetap bisa berpolitik karena yang dilarang adalah keterlibatan politik struktural (baca politik profesi). Sebab dimensi politik yang tepat acuannya adalah tanggungjawab intelektual terkait dengan persoalan-persoalan politik/publik. Intelektual yang memiliki bekal keilmuan bisa menambahkan wawasan politiknya dengan mengambil isu-isu kebijakan publik di masing-masing bidangnya untuk kemudian bisa disuarakan sebagai partisipasi politik.
Memang dalam dimensi politik, seorang intelektual dituntut untuk memahami realitas lebih makro. Karena itu membutuhkan kapasitas intelektual yang lebih luas mengingat urusan politik menyangkut urusan birokrasi, model kepemimpinan, target pencapaian atas tanggungjawab elit politik, dan lain sebagainya
2.      Politik sebagai virtue
Politik itu harus dilihat sebagai virtue atau keutamaan moral, terlebih lagi kita hidup di bawah naungan politik republikan (Republik Indonesia/Pancasila). Kaum intelektual seperti penulis, peneliti, penceramah, agamawan, pengurus ormas, seniman dll, tidak akan mencapai keutamaan nilai lebih (virtue) dalam dirinya jika tidak mampu mendinamiskan ilmu pengetahuan, kiprah dan pengalamannya (baca: kreasi karyanya) selagi terlepas dari urusan politik. Alasan yang mendasari argumentasi ini adalah bahwa mayoritas problem kehidupan sosial, budaya, agama, ekonomi, kesenian, pendidikan dll terkonsentrasi pada politik/negara.
Ungkapan politik itu buruk, kotor dan lain sebagainya cenderung tidak berdasarkan pemikiran yang matang sehingga seakan-akan tidak ada sisi kebaikan dalam politik.Jika pemikiran dan hati kaum intelektual masih berpikiran reduksionis seperti itu, maka sebenarnya ia telah merelakan dirinya dijajah oleh pemikiran dangkal. Tanggungjawab politik yang saya maksud adalah mengambil peran. Berada di luar kekuasaan (anti berpolitik struktural) itu sah saja. Bahkan keberadaan di luar sangat penting selagi masih punya kepedulian dengan gerakan-gerakan kebaikan seperti kemauan untuk mengontrol kebijakan politik struktural. Tanpa kontrol dari luar kekuasaan, pemerintah terbukti tidak mampu memainkan peran yang optimal.
Demokrasi memberikan kesempatan kita untuk bicara dan bertindak baik secara individu maupun secara kolektif. Karena itu alangkah mulianya kalau pengetahuan dan praktik politik dari luar kekuasaan ini juga menyasar pada usaha perbaikan dengan kritik yang berkualitas.
Memang masih banyak intelektual menolak mengambil peran subjek; sebagai kontributor yang partisipatoris dengan keaktifan menyumbangkan pesan-pesan pencerahan dan aksi politiknya. Naifnya, mereka yang bilang tidak suka politik ini diam-diam sering terjebak pada wicara politik yang tidak berkualitas. Itu bisa ditunjukkan oleh fakta-fakta sikap apatis, memaki, mencela dan sebatas berkeluh kesah; sebuah cermin yang memperlihatkan mentalitas non-intelektual tentunya. Anehnya lagi, saat mereka berurusan dengan politisi tidak merasa menjadi soal, terutama terkait dengan kerjasama anggaran pembiayaan.
3.      Defisit politik
Saat ini, terang kita membutuhkan peran intelektual melalui pencerahan ilmu-pengetahuan berbasis fakta, data dan visi untuk perbaikan politik. Inilah yang saya maksud bahwa peran politik kaum intelektual/profesional juga penting. Kontribusinya bisa menjadi bagian dari kekuasaan, bisa pula berada di luar dengan sikap independensinya.Melalui pola pikir semacam ini, politik bisa dijadikan sebagai strategi untuk menyalurkan tanggungjawab intelektual, tanggungjawab kelas-sosial dan tanggungjawab kemanusiaan. Peran di luar kekuasaan ini sangat penting, apalagi saat ini demokratisasi sudah berjalan dan salahsatu penunjang suksesnya demokrasi adalah maksimalisasi subjek politik (baik di dalam maupun di luar struktur).
Saya ambil contoh misalnya, selama ini kepemimpinan Gubernur, Bupati dan Walikota banyak yang gagal dalam penyerapan anggaran. Banyak alasan, salahsatunya takut bermasalah dengan urusan hukum (takut dianggap korupsi). Alasan seperti ini mudah keluar dari mulut Gubernur, Bupati atau Walikota. Sementara intelektual mendiamkan saja. Padahal mangkraknya ratusan milyar anggaran pada level provinsi dan puluhan milyar di level kabupaten/kota, itu bisa mengakibatkan hak-hak ekonomi, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik dan urusan sosial yang menjadi milik rakyat terhambat.
Karena didiamkan, wajarlah kalau kemudian para Gubernur, Bupati atau Walikota itu merasa tidak malu kepada rakyat. Bahkan sebagian merasa tidak berdosa dengan kegagalan mengeksekusi program-program politik yang telah dijanjikannya hanya karena alasan “ketimbang korupsi”. Seolah-olah mengabaikan amanat menjalankan program itu diperbolehkan karena alasan supaya tidak terjerat hukum. Padahal kita tahu, menjalankan program itu kewajiban, dan korupsi adalah kejahatan yang sudah pasti tidak boleh dipraktikkan.
Dari gagalnya penyerapan anggaran ini saja bisa mengakibatkan perbaikan hidup rakyat terabaikan. Wajar kalau kemudian pada setiap hasil akhir riset seringkali yang terjadi adalah defisit, seperti devisi demokrasi, defisit kesejahteraan, defisit indek pembangunan, defisit kemanusiaan. Beragam defisit itu wujudnya bisa dilihat dari rendahnya Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kebahagiaan Masyarakat, Indeks Demokrasi Indonesia, dan sejumlah data-data stastistik lain.
Demokrasi kita mengalami defisit. Setelah Indonesia pernah mengalami masa defisit demokrasi terpimpin dan merosot ke kubang demokrasi Pancasila Orde Baru yang penuh kebohongan, sekarang demokrasi di era reformasi mengalami defisit karena tidak mampu membuktikan sebagai alat menyejahterakan rakyat. Bahkan kita melihat di mana-mana, desentralisasi ekonomi yang berjalan hanya memindahkan oligark/i ekonomi berbasis rente dari pusat Jakarta ke wilayah provinsi dan sebagian menukik ke kabupaten/kota.
Defisit demokrasi yang demikian itu sesungguhnya mengisyaratkan kaum intelektual dan aktivis untuk bersatu padu “bermain politik” dengan penuh tanggungjawab untuk mengontrol pemerintah. Kita tahu kualitas kebanyakan kepala daerah dan DPR/D juga banyak yang jauh dari mutu. Hanya sedikit mereka yang bisa membawa diri melalui pemikiran dan kepemimpinannya. Rata-rata kemampuan mereka sekadar menjalan politik formal yang itu ujung-ujungnya juga dalam rangka perburuan ekonomi keluarga, atau mempertahankan kekuasaan mereka dari satu periode satu ke periode kedua dan periode selanjutnya.
Hal-hal yang demikian inilah yang memerosotkan nilai demokrasi. Rakyat merasa demokrasi tidak berguna. Pemilu/pilkada justru dimaknai kegiatan sekunder untuk mendapatkan materi recehan. Hukum tidak dipercaya. Itulah mengapa begitu ada peran yang itu tergolong minimal seperti misalnya kepala daerah berpihak kepada rakyat yang sudah menjadi kewajiban, mendapat julukan kepala daerah prestasi, menjadi bintang cemerlang, memiliki nilai lebih. Hal ini tak lepas dari penilaian karena memang dari sekian banyak politisi rata-rata bertabiat buruk sehingga kalau ada yang bekerja normal dianggap berprestasi.
Itulah kualitas politik kita yang belum beranjak dari sekadar menghindari pelanggaran. Padahal kita tahu politik republikanisme bukan semata urusan menghindari pelanggaran, melainkan harus ke arah tiga komponen mendasar yakni, pro-kewargaan (dengan semangat inklusif Bhineka Tunggal Ika), kebajikan (moral keutamaan untuk selalu menghasilkan warga yang berkualitas), dan keadilan (ekonomi, hukum, status sosial, dll).
4.      Citizenship berkeutamaan
Dari kerangka berpikir di atas, perbedaan antara pemberdayaan dengan politik bukan untuk dibenturkan. Justru perlu dikombinasikan sebagai gerakan karena demokrasi tanpa kualitas sumberdaya manusia yang cukup mustahil mampu menghasilkan kualitas kebaikan. Jika seseorang bisa melakukan dua hal ini, maka ia akan masuk sebagai subjek politik (citizenship) yang bernilai tinggi.
Demokrasi kita sangat rendah mutunya karena hanya sebatas kompetisi prosedural rebutan kursi kekuasaan, belum sampai ke tahap kekuasaan itu sebagai mesin perwujudan kebaikan. Saat ini kita membutuhkan gerakan kaum intelektual untuk berpolitik dalam pengertian yang sejati itu. Sebab memang salahsatu tugas kaum intelektual itu menguasai ilmu politik dan memberdayakan warga agar sadar politik, bukan malah bangga menjauhi politik dengan alasan pemberdayaan.
Dengan nalar republikanisme (bukan dengan nalar empirik politik Indonesia) sesungguhnya politik bisa kembali hadir sebagai percikan air segar yang bisa memasok energi kemanusiaan kita untuk berbuat lebih baik di tengah-tengah urusan bangsa.

C.  Peran Ilmu Pengetahuan Dalam kekuasaan Teknologi
Hasil pengetahuan dalam bidang teknologi yang berbentuk komunikasi dan informasi telah digunakan untuk membelokkan informasi sesuai kepentingan politik dan kekuasaan, siapa yang menguasai informasi dialah yang dapat menguasai dunia. Misalnya, informasi dari Barat yang menyatakan Islam identik dengan terorisme, sedangkan Amerika dan Israel yang menyerang Irak dan Palestina justru dibela terutama oleh sekutunya dan mendapat bantuan dana untuk melaksanakan serangan tersebut. Kita bisa melihat salah satu contohnya  Teknologi yang berpengaruh terhadap kekuasaan adalah:
Kekuasaan Media Massa
Seperti yang kita ketahui bersama ada tiga teori dalam pemerinthan negara indonesia ini disebut trias politika. Teori ini menjelaskan dimana kekuasaan itu dibagi tiga yaitu, Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif . Kekuasan ketiga lembaga tinggi negara ini kemudian menempatkan para individunya pada posisi tertinggi dalam sebuah demokrasi terpimpin seperti, DPR yang berwewenang dalam mengubah dan menetapkan undang-undang, presiden dengan wewenang sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah pemerintahan dan menjalankan undang-undang, kemudian mahkamah agung dengan wewenang memberikan sanksi terhadap individu yang melanggar undang-undang.
Seiring berjalannya waktu, dalam perjalanannya media massa seolah menjelma sebagai pemegang “kekuasaan tertinggi” itu. Kenapa tidak. Segala pembentukan, pengeksekusian hingga penyelesaian pelanggaran terhadap perundang-undangan, pada era sekarang, media memiliki peran aktif dan pengaruh dalam setiap keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan.
Berapa banyak hari ini kasus yang berhubungan dengan para pemegang kekuasaan, dibongkar oleh media. Begitupun halnya terhadap sebuah pengambilan kebijakan, media selalu menjadi pengawal di garda terdepan yang membuat para pemegang kekuasaan tidak lagi memiliki kemampuan dalam menentukan kebijakan secara semena-mena sebagaimana dahulu sebelum kehadiran media massa. Keterlibatan media dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, sungguh sebuah wujud keniscayaan sebuah demokrasi dan bagian dari harapan masyarakat. Kehadiran media dianggap sebagai katalis rakyat dalam mengawal para pemegang kekuasaan dalam menjalan tugas dan wewenangnya.
Keberadaan media massa ini sungguh kemudian melahirkan kebutuhan baru di masyarakat, yaitu kebutuhan terhadap informasi. Seakan ada yang kurang, bila sehari saja seorang individu tidak mendapatkan informasi, baik itu dari media cetak maupun online. Kekuasaan media semakin bertambah, ketika media itu sendiri memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi para audiensnya. Hal positif dari yang demikian dapat kita lihat dari tragedi bencana gempa bumi Pidie Jaya beberapa waktu lalu. Dengan sekejap bantuan dari seluruh penjuru daerah bahkan negara berdatangan berkat media massa. Dunia melihat Aceh saat itu. Karena memang masyarakat akan mudah tersentuh ketika berbicara pada ranah humanistik dan kemanusiaan. Namun dibalik kekuasaan media massa pada era teknologi ini, ada hal lain yang juga menjadi pertimbangan dan kekhawatiran kita bersama. Ada segelintir orang yang kemudian memanfaat kekuatan media tersebut untuk kepentingan pribadi dan politik. Terlebih dimana suasana menjelang pesta demokrasi pada 2019 ini. Peran media massa dengan mudah dimanfaat para elit politik untuk masuk dan memberikan pengaruh dalam bentuk pencitraan agar mendapat tempat di hati masyarakat.
Ketika media sudah bermain diranah politik dan rating, informasi yang disampaikan pun tidak lagi berorientasi pada kepuasan masyarakat sebagai audiens. Namun lebih kepada teori agenda setting dengan kemampuan mentransfer isi informasi untuk mempengaruhi agenda publik (Kriyantono, 2006). Berita seolah dijadikan ajang bisnis. Sehingga pencitraan, ketidakberimbangan informasi dan lain sebagainya yang memicu memanasnya keadaan serta memunculkan perselisihan sangat riskan terjadi. Media massa dalam hal ini seperti dua mata pisau yang berbeda. Bisa jadi mata pisau tersebut memberikan manfaat, atau malah sebaliknya melukai. Kekuatan media yang kemudian begitu terasa adalah mampu memberikan pembenaran terhadap sesuatu yang salah dan menyalahkan sesuatu yang benar. Yang demikian sebenarnya sungguh menjadi perhatian kita bersama. Terlebih perbedaan intelektual masyarakat kita yang berbeda-beda. Masyarakat dengan tingkat intelektual menengah kebawah cendrung dengan mudah menerima berbagai informasi dan menelannya mentah-mentah. Dan kalangan ini ingin cendrung menganggap setiap informasi yang disampaikan oleh media massa adalah sesuatu yang paling benar.
Ini kemudian yang menjadi kekhawatiran kita bersama. Terlebih para pemilik kepentingan itu adalah mereka yang juga penguasa media massa. Tidak heran jika anak kecil saat ini lebih hafal dengan jingle sebuah partai dibandingkan dengan lagu Indonesia Raya. Ini merupakan bentuk bagaimana besarnya pengaruh media massa. Hal ini menjadi sebuah tuntutan bagi kita masyarakat agar menjadi komsumtif media yang cerdas. Masyarakat dituntut untuk memberikan filter terhadap informasi yang diterima melalui media massa. Konsep tabayyun mesti diterapkan terhadap pemberitaan yang bersifat kontroversi dan memancing suasana agar tidak menimbulkan konflik baru.
Dengan kata lain, menjadikan media massa sebagai sumber informasi bukan berarti meyakini setiap informasi secara mentah-mentah. Dan harapanya memang, kepada kita semua agar mensosialisasikan kepada masyarakat bagaimana pentingnya menjadi komsumtif media yang cerdas. Bila kepahaman menanggapi informasi setiap informasi sudah setara, maka percecokan tidak lagi terjadi dan kita hanya memanfaatkan nilai positif dari kehadiran media massa itu sendiri untuk Aceh yang lebih damai dimasa yang akan datang.
Jadi dengan kata lain Mereka yang berilmu tinggi akan dapat menipu yang berilmu rendah, sebagaimana ungkapan Francis Bacon bahwa ”ilmu adalah kekuasaan” (knowledge is power). Jika ilmu adalah kekuasaan maka teknologi merupakan alat kekuasaan.

D.  Peran Ilmu Pengetahuan Dalam Kekuasaan Ekonomi
Dalam hal ekonomi, era pasar bebas akan menguntungkan negara maju yang otomatis memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju juga sehingga semakin membuat negara miskin semakin miskin (lingkaran setan kemiskinan). Membanjirnya produk ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan konsumerisme, sehingga terjadi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya).
Hutang juga sangat berpengaruh besar tergadap kekuasaan sebuah negara misalnya karena negara tidak bisa berjalan dengan bebas karena selalu dihantui oleh hutang yang selalu menuntut target dalam sebuah pembangunan sehingga negara dalam kebijakan yang lebih dominanya  selalu mengikuti kemauan dari sang pemilik modal tersebut dengan alih-alih supaya cepat bisa melunaskan hutang, bukan mengutamakan rakyat lagi.







BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Selama ini pengetahuan tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan kita warisi paling-paling dalam bentuk semboyan yang dianggap berasal dari filsafat ilmu Francis Bacon (1561-1626), yang berbunyi “Knowledge is power”, pengetahuan ialah kekuasaan. Pengetahuan menampakkan diri dalam kekuasaan. Atau lebih tepat, pengetahuan  mewujudkan diri dalam teknologi dan teknologi adalah sarana untuk mengendalikan, khususnya untuk mengendalikan alam.
Dalam sistem pemerintahan yang kita anut beberapa kurun masa ini kita bisa melihat dari zaman Orde Lama peran ilmu pengetahuan atau para cendekiawan yang berkuasa telah dengan senagaja meninggalkan etika profesi dan etika kemanusiaannya melalui pelacuran ilmu pengetahuan untuk kepentingan jabatan dan keutungan material pribadi. Di dalam pemerintahan orde baru peranan para cendikawan dalam pembangunan relatif lebih terhormat, sehingga memungkinkan terjadinya kerjasama yanga erat anatara teknokrat dan penguasa para cendikawan dapat memainkan peranannya lebih sesuai dengan peranan etika dan hati nuraninya, walau masih terdapat beberapa keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam pelaksanaannya.
Cendikiawan dan kekuasaan yang pada akhirnya menentukan arah sebuah kebijakan pemerintah. Jika posisi mereka bebas atau diluar sistem atau pemerintah maka dengan posisi yang bebas itulah, seorang intelektual memiliki kekuatan (daya tawar) untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat pemerintah. Posisi seorang intelektuak adalah diatas menara yang paling tinggi yang tak boleh terjangkau oleh siapaun, kecuali dirinya sendiri. Artinya, bahwa siapapun tidak boleh mempengaruhi apalagi membeli pemikiran seorang intelektual dalam menyampaikan kebenaran.
Hasil pengetahuan dalam bidang teknologi yang berbentuk komunikasi dan informasi telah digunakan untuk membelokkan informasi sesuai kepentingan politik dan kekuasaan, siapa yang menguasai informasi dialah yang dapat menguasai dunia. Misalnya, informasi dari Barat yang menyatakan Islam identik dengan terorisme, sedangkan Amerika dan Israel yang menyerang Irak dan Palestina justru dibela terutama oleh sekutunya dan mendapat bantuan dana untuk melaksanakan serangan tersebut.
Dalam hal ekonomi, era pasar bebas akan menguntungkan negara maju yang otomatis memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju juga sehingga semakin membuat negara miskin semakin miskin (lingkaran setan kemiskinan). Membanjirnya produk ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan konsumerisme, sehingga terjadi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya).

B.  Saran
Sabaiknya kita sebagi mahasiswa sadar akan peran penting ilmu pengetahuan dalam sendi kehidupan ini karena tanpa ilmu pengetahun yang kita miliki yang cukup maka kita dengan mudaah dikendalikan oleh orang lain. Dengan mempunyai ilmu pengetahuna yang luas kita bisa menjadi orang yang berguna terutama menguasai orang-orang sekitar kita untuk berbuat baik. Dengan ilmu pengetahun juga kita bisaa dengan bijak menggunakan teknologi ini dengan baik demi kemaslahatan ummat banyak.


DAFTAR PUSTAKA

blogspot.co.id. 02 April 2008. Ilmu Pengetahuan Dan Kekuasaan. Diperoleh 21 Oktober 2017. http://just-drop-by.blogspot.com/2008/04/ilmu-pengetahuan-dan-kekuasaan-tinjauan.html
Dhakidae, daniel. 2003. Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

blogspot.co.id. April 2011. Peran Cendilkiawan atau intelektual Dalam Dunia Politik. Diperoleh 22 Oktober 2017. http://agil-asshofie.blogspot.co.uk/2011/04/peran-cendilkiawan-atau-intelektual.html

civicislam.id. Juni 2016. Kaum Intelektual dan Politik Saat Ini. Diperoleh 22 Oktober 2017. http://www.civicislam.id/2016/06/kaum-intelektual-dan-peran-politik-saat.html


padebooks.com. 17 Januari 2017. Kekuasaan Ditangan Media Massa. Diperoleh 22 Oktober 2017. http://padebooks.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar